Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [4]
Rabu, 1 Juni 2016

Bismillah.

Sebagaimana sudah dipaparkan dalam beberapa seri tulisan sebelumnya, bahwa di awal Kitab Tauhid ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan ayat-ayat yang menunjukkan makna tauhid dan kedudukannya di dalam Islam.

Di dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 terkandung penjelasan bahwa hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan menunjukkan bahwa tauhid merupakan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Kemudian, pada surat an-Nahl ayat 36 terkandung keterangan bahwa hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik. Selain itu, seorang yang bertauhid harus berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Berikutnya, Syaikh menyebutkan ayat ke-23 dari surat al-Israa’ (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat ihsan/kebaikan.”

Ayat yang mulia ini menunjukkan wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan wajibnya setiap anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya (lihat al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 23-24)

Makna ayat tersebut adalah hendaknya kalian beribadah hanya kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya. Dan ini merupakan kandungan makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah yang mencakup penolakan sesembahan selain Allah dan penetapan ibadah untuk Allah semata (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 11, Fat-hul Majid, hal. 34, I’anatul Mustafid, 1/38)

Sehingga di dalam ayat itu juga terkandung tafsir tauhid bahwa tauhid itu adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Adapun beribadah kepada Allah tetapi tidak disertai dengan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, maka hal ini tidak dinamakan sebagai tauhid. Orang-orang musyrik pun beribadah kepada Allah. Akan tetapi karena mereka juga beribadah kepada selain-Nya maka mereka pun menjadi musyrik. Oleh sebab itu bukanlah perkara yang paling pokok itu seorang insan beribadah kepada Allah. Namun, dia harus beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya (lihat I’anatul Mustafid, 1/38)

Ayat itu juga menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban paling pertama yang diperintahkan oleh Allah dan hak paling utama yang harus ditunaikan oleh setiap hamba. Di sisi lain, ayat itu juga menunjukkan betapa agungnya kedudukan hak kedua orang tua serta haramnya berbuat durhaka kepada mereka berdua (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 14)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka tauhid itu adalah hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Ia merupakan perintah agama yang paling agung, pokok dari seluruh pokok agama, dan pondasi amal-amal.” (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 43)

Berdasarkan ayat tersebut para ulama juga mengambil kesimpulan bahwasanya menjauhi syirik merupakan syarat benarnya ibadah. Oleh sebab itu ibadah tidaklah benar tanpanya. Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik pastilah akan terhapus segala amal yang dahulu telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88) (lihat Maqashid Kitab at-Tauhid, hal. 6)

Kata qadha atau ‘menetapkan’ yang disebutkan di dalam ayat tersebut bermakna ‘memerintahkan’. Hal ini selaras dengan firman Allah (yang artinya), “Tidak ada hukum kecuali milik Allah. Allah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.” (Yusuf : 40). Maksudnya adalah Allah memerintahkan dengan perintah syari’at untuk beribadah kepada-Nya semata tidak kepada selain-Nya (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 12, Fat-hul Hamid, 1/205)

Penafsiran kata qadha dengan ‘memerintahkan’ ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan al-Hasan. Adapun ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan dengan ‘mewajibkan’, sedangkan Mujahid menafsirkan dengan ‘mewasiatkan’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 739)

Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa berbakti kepada kedua orang tua termasuk akhlak yang sangat mulia. Dan ternyata di sana ada perintah lain yang lebih didahulukan yaitu perintah untuk mentauhidkan Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwasanya mentauhidkan Allah adalah termasuk akhlak yang paling mulia. Karena sesungguhnya akhlak mulia itu memiliki cakupan yang luas, baik yang berkaitan dengan sesama maupun yang berkaitan dengan hak-hak Allah.

Oleh sebab itu Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah membuat bab di dalam kitabnya dengan judul ‘Akhlak yang mulia tidak hanya ditujukan kepada makhluk semata’. Dari sana kita bisa mengetahui bahwa siapa saja yang berbuat baik kepada sesama makhluk dan berakhlak mulia kepadanya tetapi dia tidak mentauhidkan Allah atau tidak sholat maka sesungguhnya dia adalah orang yang berakhlak buruk (lihat al-Mau’izhah al-Hasanah, hal. 64-69)

Dari sinilah kita mengetahui kekeliruan sebagian orang yang mengira bahwa ‘akhlak’ -dalam pengertian hubungan dengan sesama, pent- itu lebih penting daripada tauhid. Mereka salah dalam memahami hadits-hadits yang berisi keutamaan akhlak, seperti “Kebajikan itu adalah dengan berakhlak mulia.” “Tidak ada suatu perkara yang lebih berat di atas timbangan melebihi akhlak yang mulia.” dsb. Mereka menyangka bahwa dalil-dalil ini ‘mengalahkan’ dalil-dalil lain yang lebih mengutamakan tauhid secara mutlak atas segala amalan. Dengan dalih semacam itulah mereka meremehkan tauhid. Padahal, sesungguhnya tauhid itulah bagian paling penting di dalam akhlak yang mulia -dalam pengertian luas- (lihat al-Mau’izhah al-Hasanah, hal. 72-73)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-4/